HURAIAN
IMAM MUHAMMAD ABDUH
Solehuddin Shuib, Muhamad Alihanafiah
Norasid1
Departmen Al-Quran & Al-Hadith
Akademi Pengajian Islam, Universiti
Malaya,
50603 Kuala Lumpur, Malaysia
1Emel: imtiaz_alhuffaz@365.um.edu.my
ABSTRAK
Tafsir surah Al Asr ini dikupas berdasarkan tafsir
oleh Imam Muhammad Abduh. Tafsir Al-Manar
yang juga bernama Tafsir Al Quran Al-Hakim muncul sebagai tafsir bi
al-Ra’yi pada abad
modern. Di dalam penulisan ini dijelaskan biogarafi ringkas beliau,
sekilas berkaitan tafsir Al Manar, Terjemahan ayat berdasarkan Al-Quran
pimpinan Arrahman, Latar belakang surah meliputi makki/madani, keduyakan surah,
sebab nuzul dan fazilat surah, dijelaskan juga gaya persembahan kitab tafsir Al
Manar ini, dihidangkan pula isi-isi penting pada tafsir setiap ayat dan diberi
kesimpulan bahawa iman, amal soleh, berpegang dengan kebenaran dan kesabaran
ini dalam amalan perbuatan.
Kata
kunci: Al Manar ; Muhammad Abduh; Al-Asr
1. Pengenalan ringkas kitab tafsir yang dirujuk
1.1 Sekilas Biografi dan Karier Intelektual Muhammad
Abduh
Nama penuhnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah. Beliau dilahirkan di perkampungan
Nashr di daerah Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849M. Abduh hidup dalam
lingkungan keluarga petani di desa. Semua saudaranya membantu ayahnya
mengelola pertanian, kecuali Muhammad
Abduh. Orang tuanya ditugaskannya untuk belajar, menuntut ilmu pengetahuan. Pada
awalnya Muhammad Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Mahdi Thantha untuk mempelajari Tajwid al-Qur’an. Namun
setelah dua tahun ia kembali ke kampungnya, ia bertani sebagai mana saudara-saudaranya yang
lain, dan kemudian dinikahkan. Walaupun sudah berkahwin, ayahnya memaksa beliau
untuk melanjutkan pelajaran, kemudian ia pergi ke desa Syibral
Khit. Guru utama Muhammad Abduh adalah Jalaluddin al-Afghani. Ia banyak belajar
kepada ulama’ ini dalam banyak sudut; dari kajian ilmu agama hinggalah ke
sosial dan politik. Yang demikian inilah yang menjadikan corak pemikirannya tidak jauh berbeza
dengan Sheikh Jalaludddin al-Afghani, bahkan banyak persamaan antara keduanya
dan disebut sebagai penggantinya[1]
1.2 Karya-karya Muhammad Abduh:
Muhammad Abduh merupakan seorang ulama yang cukup
produktif. Ia meninggalkan banyak karya,
di antaranya adalah: [2]
1. Risalat al-Ridat
2. Hasyiah-Syarah Al-Jalal al-Dawwani Lil Aqa’id Al-Adhudhiyah
3. Tafsir Juz Amma
4. Tafsir Surah wal-‘Asr
5. Tafsir Al-Qur’an bermula dari al-Fatihah sampai dengan ayat 129 surah
al-Nisa’.
1.3 Sekilas berkaitan tafsir Al-Manar
Tafsir
Al-Manar yang juga
bernama Tafsir Al Quran Al-Hakim muncul
sebagai tafsir bi al-Ra’yi
pada abad moden ini.
Tafsir ini terdiri
dari 12 jilid,
mulai dari surah Yusuf
ayat ke-52. Tafsir al-Manar
ini, bermula dari
pengajian tafsir di Masjid Al-Azhar sejak awal
Muharram 1317H. Meskipun
penafsirannya ayat-ayat penafsiran
tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan
sebagai hasil karyanya,
kerana muridnya (Rasyid
Ridha) yang menulis.
Kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel
yang dimuatnya ini kepada
Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan
penambahan dan pengurangan
satu atau beberapa kalimat,
sebelum disebar luaskan dalam majalah Al-Manar. Dari sini
diketahui bahwa sebagian
besar karya tafsir
Muhammad Abduh, pada mulanya bukan
dalam bentuk tulisan.
Hal ini menurut
Muhammad Abduh, huraian yang disampaikan secara
lisan akan difahami
oleh sekitar 80%
oleh pendengarnya, sedangkan karya
tulis hanya dapat
dipahami sekitar 20% oleh pembaca.
Kitab
Tafsir al-Manar ini
memperkenalkan dirinya sebagai kitab
tafsir satu-satunya yang
menghimpun riwayat-riwayat yang sahih dan pandangan akal tegas yang menjelaskan
hikmah syari’ah serta
sunnatullah terhadap manusia,
dan menjelaskan fungsi Al Quran sebagai
petunjuk (hidayah) untuk seluruh manusia disetiap waktu
dan tempat. Tafsir
ini juga dengan
gaya bahasa yang mudah
sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknikal; sehingga
dapat difahami oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus
(cendekiawan).
Tafsir
Al-Manar pada dasarnya
merupakan hasil karya
tiga orang tokoh Islam,
iaitu Sayyid Jamaluddin
Afghani, Syeikh Muhammad
Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha. Tokoh pertama menamakan
gagasan-gagasan perbaikan
masyarakat kepada sahabat
dan muridnya, Syeikh
Muhammad Abduh. Oleh
tokoh kedua gagasan-gagasan tersebut disampaikan melalui
penafsiran ayat-ayat Al Quran dan diterima
oleh antara lain
tokoh ketiga yang
kemudian menulis semua
yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu.[3]
2.Kesemua ayat pada surah Al A’sr dan terjemahan
(Pimpinan Arrahman)[4]
Tema: manusia itu berada dalam kerugian dan keuntungan
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Ertinya:
Dengan
Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih
Ayat 1:
وَٱلۡعَصۡرِ
Ertinya:
Demi
masa!
Ayat 2 :
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ
Ertinya:
Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian[5]
Ayat 3
:إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
Ertinya:
Kecuali
orang yang beriman dan melakukan amalah soleh dan mereka pula berpesan-pesan
dengan kebenaran[6]
serta berpesan-pesan dengan kesabaran[7]
3. Latar belakang surah – Makki/Madani, Bil. Ayat, Kedudukan
Surah, Sebab Nuzul, Fadilat Surah
3.1 Surah: Makkiyah
3.2 Ayat :
3 ayat
3.3 Kedudukan surah: 103
3.4 Sebab Nuzul:
Mereka menyebutkan bahwa 'Amr bin al-'Ash pernah
diutus untuk menemui Musailamah al-Kadzdzab. Hal itu berlangsung setelah pengutusan
Rasulullah dan sebelum dia (Amr bin al-'Ash) masuk Islam. Musailamah
al-Kadzdzab bertanya kepada 'Amr bin al-'Ash, "Apa yang telah diturunkan
kepada Sahabatmu ini (Rasulullah) selama ini?" Dia menjawab, "Telah
diturunkan kepadanya satu surat ringkas namun sangat padat." Dia bertanya,
"Surat apa itu?" Dia (Amr) menjawab:
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي حُسْرِ. إلا الَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
)
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih dan nasihat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati
supaya menetapi kesabaran."
Kemudian Musailamah berfikir sejenak, setelah itu dia
berkata, “Dan telah diturunkan pula hal serupa kepadaku." Kemudian 'Amr
bertanya kepadanya, "Apa itu?" Musailamah menjawab, "
(Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu
memiliki dua telinga dan satu dada. Dan semua jenismu suka membuat galian dan
lubang)." Kemudian dia bertanya, "Bagaimana menurut
pendapatmu, hai 'Amr." Maka 'Amr berkata kepadanya, "Demi
Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau telah berdusta."
Wabr adalah binatang sejenis kucing, yang anggota
badannya yang paling besar adalah kedua telinga dan dadanya, sedangkan anggota
tubuh lainnya kurang bagus. Dengan halusinasi itu, Musailamah al-Kadzdzab
bermaksud menyusun kalimat yang bertentangan dengan apa yang disampaikan
al-Qur-an. Namun demikian, hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh seorang
penyembah berhala pada saat itu.
3.5 Fazilat surah:
3.5.1 Benarlah (riwayat) bahawa para sahabat radiy
Allahu 'anhum,
“ apabila saja dua daripada mereka berkumpul, mereka
tidak akan berpisah melainkan setelah mereka saling membacakan surah ini antara
satu sama lain, hinggalah ke penghujungnya. Setelah itu, barulah mereka saling
bersalaman.'
3.5.2 Imam asy-Syafi'i mengatakan,
"Seandainya manusia mencermati surat ini
secara saksama, nescaya surat ini akan mencukupi mereka."
4. Gaya
persembahan (teknikal) kitab tafsir Al Manar [8]
4.1 Manhaj
sumber penafsiran
Dilihat
dari sumber penafsiran, karya tafsir tidak akan lepas dari tiga klasifikasi,
yaitu bi al-ma’tsur, bi al-ra’y dan gabungan dari keduanya atau iqtirani.
Tafsir bil al-Ma’tsur merupakan metode/manhaj penafsiran yang sumbernya
langsung dari al-Qur’an dan hadits.. Tafsir al-Manar menunjukkan,
bahwa Tafsir al-Manar pada dasarnya lebih merupakan wujud dari bentuk yang
ketiga, yaitu iqtirani. Hal ini jelas dilihat pada penggunaan ayat dan riwayat
untuk menjelaskan satu ayat serta memasukkan beberapa analisa pemikiran sesuai
dengan nilai dan budaya masyarakat.
4.2 Manhaj
cara penjelasan[9]
Penjelasan
dalam karya tafsir dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk bayani dan muqarin.
Penjelasan model bayani adalah penjelasan secara global padanya tanpa berusaha membandingkan beberapa
pendapat yang ada. Sedangkan penjelasan muqarin adalah penjelasan yang berusaha
membandingkan beberapa pendapat yang ada, baik dengan memilih salah satu
pendapat ataupun tidak. Sedangkan Tafsir al-Manar ini menurut penulis termasuk
dalam kategori yang kedua, yaitu muqarin atau perbandingan.
4.3 Manhaj
dari segi keluasan penjelasan[10]
Dilihat
dari aspek luas tidaknya penjelasan terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan, karya
tafsir dapat diklasifikasikan ke dalam dua model, yaitu ijmali dan tafsili.
Ijmali merupakan bentuk penjelasan ringkas atau global tanpa banyak memberikan perbahasan
yang memadai. Adapun Tafsir al-Manar dapat dikategorikan dalam kelompok tafsir
yang memiliki perbahasan yang luas
4.4 Manhaj
dari segi tertib ayat[11]
Setiap karya tafsir jika dilihat dari segi tertib ayat
maka terdapat tiga model, iaitu pertama tahili, yaitu suatu metod tafsir yang
bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, di mana penafsir mengikuti
urutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf.” Nuzuli, yaitu
penulisan tafsir yang mengikuti kronologi urutan turunnya al-Qur’an dari awal (surah
al-‘Alaq) hingga surah yang turun terakhir. Yang ketiga tidak mengikuti keduanya tetapi berdasarkan keperluan yang
disesuaikan dengan pembahasan, misalnya mengikuti topik-topik tertentu atau
maudu’i. Kerana mengikuti urutan ayat al-Qur’an yang ada dalam mushaf Utsmani,
Dari segi tertibnya, Tafsir al-Manar dapat digolongkan
sebagai tafsir yang mengikuti metod
tahlili, bukan nuzuli atau maudu’i. Hanya saja tafsir ini tidak selesai sampai
surah terakhir dalam mushaf (surah al-Nas), namun hanya sampai pada juz 12
tepatnya surah Yusuf.
4.5 Naz’ah[12]
Dilihat dari segi naz’ah atau coraknya, karya tafsir
dapat bercorak ilmi atau falsafi, hukmi atau fiqhi, adabi-ijtima’i, dan
lain-lain. Setelah melakukan kajian atas beberapa penafsiran penulisnya secara random
dalam beberapa jilid Tafsir al-Manar
dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adabi- ijtimai atau
sosial-kemasyarakatan. Yang demikian ini berkesesuaian dengan apa yang
disampaikan penulis Tafsir al-Manar dalam muqaddimahnya.
5. Isi-isi
penting yang terkandung pada kitab tafsir Al Manar yang dirujuk mengikut
susunan ayat pada surah
5.1 Muqaddimah surah[13]
Hubungan surah ini dengan surah al Takathur
Dalam Surah al-Takathur disebutkan bahawa mereka suka
berbangga-bangga dengan jumlah yang banyak dan dengan apa saja yang dapat
melalaikan mereka daripada mentaati Allah SWT. Dalam surah ini pula disebutkan
tabiat manusia yang mendorongnya kepada kebinasaan dan menjerumuskannya ke
lembah kehancuran, kecuali orang yang dilindungi oleh Allah SWT. dan
dihindarkan daripada kejahatan hawa nafsunya. Jadi, seolah-olah keterangan ini
menjadi sebab turunnya Surah al-Takathur, di samping itu disebutkan juga orang
yang mengikut hawa nafsunya dan telunjuk syaitan sehingga terjerumus ke lembah
kebinasaan.
Dalam surah ini juga di sebutkan orang yang menghiasi
diri mereka dengan tabiat yang baik, beriman kepada Allah SWT. dan beramal
salih serta saling menasihati antara saudara-saudaranya agar berpegang teguh
dengan tali kebenaran dan sabar menghadapi perkara-perkara yang tidak
diinginkan.[14]
Surah ini diturunkan di Mekah ini mengandungi tiga
ayat. Surah ini dinamakan surah al-Asr
(Masa) kerana pada awal surah ini Allah SWT bersumpah dengan masa masa bahawa
sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang beriman dan
beramal soleh.
Antara intisari kandungan surah ini, menerangkan
bahawa manusia umumnya berada dalam kerugian kecuali orang yang beriman dan
beramal soleh dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran meliputi iktikad
kepercayaan, tutur kata dan amalan serta berpesan-pesan dengan sabar, iaitu
bersabar dalam menjalankan suruhan Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya.
Apakah kerugian yang dimaksudkan itu?
Kerugian bermakna hilang modal dan modal seseorang itu
ialah umurnya. Dengan ini jelaslah bahawa manusia tidak terlepas daripada kerugian. Hal ini kerana setiap satu detik yang berlalu
daripada umurnya , jika digunakan pada maksiat maka tidak syak lagi tentang
ruginya. Jika dihabiskan dengan
perkara-perkara yang harus, maka itu pun merugikan juga kerana habisnya tidak
meninggalkan sebarang faedah yang dapat menolongnya apabila dia mati.
Bagi mengelakkan kerugian itu, tidak ada jalan lain melainkan
dengan cara yang diterangkan pada ayat yang ketiga, iaitu dengan cara beriman,
beramal soleh, berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan
kesabaran.
5.2 Sunnatullah pada al Qasam(sumpah)
Menurut Muhammad Abduh, sunnatullah terlaksana di
dalam kitab-Nya(Al Quran) bahawa Dia bersumpah, kadang kala dengan salah satu
ciptaan-Nya, ataupun dengan salah satu daripada perihal urusan-Nya. Demikian itu untuk mengingatkan manusia
kepada kebijaksanaan yang telah dititipkan-Nya padanya makhluk atau urusan
Allah bersumpah dengannya itu.
Menurut Muhammad Abduh lagi, manusia suka menyandarkan
urusan keburukan kepadanya(makhluk atau urusan yang Allah bersumpah
dengannya). Manusia demikian silap. Sesungguhnya keburukan dan kejahatan itu bukanlah
pada perkara-perkara yang Allah SWT. bersumpah dengannya, akan tetapi kejahatan
itu berada dalam jiwa manusia tersebut.
Pada sisi yang lain pula, manusia bersangka bahawa
alam dunia yang fana’ ini merupakan alam yang jahat dan binasa. Maka mereka beranggapan pencari kebahagiaan
mesti merendah-rendahkan dunia dan menjauhi dunia. Pada pandangan mereka,
mereka mestilah mengabdikan diri kepada alam lain yakni akhirat. Justeru itu, al Quran telah datang
membetulkan akan rosaknya kefahaman mereka tentang Allah SWT. yang menciptakan
alam ini buat manusia.
Menurut Muhammad Abduh lagi, inilah antara caranya
Allah SWT mengingatkan kesalahan mereka itu dengan laras bahasa yang dibawa
bersama sumpah yang ada di dalam Al Quran.
Dia menjelaskan kepada mereka bahawa perkara ini yang Allah SWT. bersumpah
dengannya mengandungi kebijaksanaan Allah SWT. yang tinggi, ke tahap Allah SWT
bersumpah dengannya.
5.3 Huraian
berkaitan Al-‘Asr ٱلۡعَصۡرِ
Al-‘Asr merujuk kepada dua perkara berikut:
i.)
Merujuk
kepada tempoh (zaman) yang tertentu dari masa.
Sama ada dihadkan bilangan tahun tertentu, ataupun tidak.
ii.)
Ataupun
merujuk kepada waktu di antara Zuhur dan Maghrib.
Manusia terbiasa mencela yang pertama (Al A’sr sebagai
zaman). Mereka menyandarkan seluruh
kebaikan tentang apa yang mereka harapkan, kepada zaman sebelum mereka. Atas sebab itu, Allah SWT menjentik jiwa
manusia daripada kepercayaan yang sebegini dengan cara Allah SWT. bersumpah
dengannya.
Al-‘Asr dengan maksud yang kedua (waktu Asar)
merupakan waktu orang-orang Arab Quraisy pada masa itu berkumpul di kawasan al
haram atau di lokasi lainnya. Mereka
sibuk dengan perkara yang tidak membawa kebaikan sepeti mengumpat, menghina,
atau berhibur. Atas sebab itu, telah sabit dalam jiwa mereka bahawa waktu Asar
itu sinonim dengan keburukan dan menghimpun kejahatan.
Lalu Allah SWT menolak tuduhan demikian dan
mengembalikan keburukan itu kepada mereka.
Allah SWT mengajarkan bahawa waktu itu sendiri merupakan makhluk Allah
yang mulia, yang pencipta langit dan bumi boleh bersumpah dengannya. Justeru,
mereka hendaklah memperlakukan apa yang patut dengan darjat mulia waktu Asar
ini dengan mengisinya dengan amalan kebaikan.
Demikian pula mereka akan menjauhi diri dari kerugian yang besar yang
tidak akan menimpa mereka melaikan kerana perbuatan jahat mereka sendiri.
5.4 Huraian mengenai Al- Insan ٱلۡإِنسَٰنَ
Muhammad Abduh menghuraikan dari segi Bahasa Arab pula
imbuhan (AL-Alif lam) di dalam perkataan Insan.
Membawa maksud Istighraq. Yang
membawa maksud rangkuman seluruh, yakni al insan merujuk kepada seluruh insan. Rangkuman seluruh dengan AL di dalam Bahasa
Arab bukanlah seperti rangkuman seluruh dengan perkataan kullu, yang digunakan
oleh ahli mantiq, dan juga AL tidaklah sama hukumnya seperti perkataan kullu
yang disandarkan kepada satu perkataan nakirah.
Sesungguhnya imbuhan AL dalam ayat Al- Insan ini
membawa maksud rangkuman seluruh perkara yang ma’hud(telah diketahui) oleh
mukhatab(orang kedua dalam perbualan)
Oleh kerana itu, rangkuman seluruh yang ada dalam ayat
al- insan menurut makna hakikinya , menggenapi semua manusia yang mukallaf[15], sama ada mereka telah
mendengar risalah para Nabi atau belum.
5.5 Huraian mengenai Al Khusr خُسۡرٍ
Al Khusr (kerugian) dari segi bahasanya merujuk kepada
kesesatan, kehancuran, dan kekurangan.
Menurut Muhammad Abduh, segala kejahatan yang kita
lakukan itu merupakan kerugian buat diri kita.
Ini kerana, kita sebenarnya menagih faedah dan imbuhan baik dari segenap
amalan perbuatan kita.
Kerugian dalam ini merujuk kepada kerugian yang
mutlak, tidak terikat dengan sifat kerugian di dunia ataupun akhirat. Setiap mukallaf yang tidak bersifat dengan
sifat-sifat yang berikutnya di dalam surah, akan mendapat kerugian di dalam
kehidupan ini, ataupun dalam kehidupan sesuadahnya yakni akhirat.
5.6 Huraian mengenai: إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
..Melainkan orang yang beriman
i.Iman di dalam ayat ini bersifat mutlak. dan tidak
diikat dengan sebarang apapun (penyifatan), seperti yang kita sendiri
saksikan. Menurut Muhammad Abduh,
perkara utama keumuman firman ini ialah:
Kepatuhan jiwa kepada perkara yang memberi keyakinan bahawa wujudnya
perbezaan antara baik dan jahat, kemuliaan dan kehinaan.
ii.Serta kita hendaklah beriman akan adanya Yang Maha
Berkuasa atas segala kewujudan ini. Yang
redha akan kebaikan dan tidak redha akan kejahatan, yang mencitai kemuliaan dan
membenci kehinaan.
iii.Begitu juga mempercayai yang Dia memerintahkan
pula kepada mereka untuk menerangkan kekeliruan yang berlaku pada amal
perbuatan manusia, dan mengenalkan kepada mereka akan segala runtunan hawa
nafsu ke hati mereka yang boleh membinasakan, dan jalan-jalan pembuktian yang
benar menurut akal mereka.
iv.Maka dengan demikian, mereka pun tertarik kepada
kebenaran itu, menerima apa, yang menjadi natijah daripadanya(pembuktian akal
yang sahih), menghalang diri mereka daripadanya (hawa nafsu yang membinasakan)
dan akhirnya manusia akan berazam pula untuk menjaga pintu-pintu hawa nafsu
dalam diri mereka, dan menghalang seluruh perlara yang boleh menjerumuskan
mereka ke Lembah kesesatan. Inilah iman
yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al Lail : 1 dan Al Lail: 6.
v. Bukanlah iman itu merujuk kepada mengiyakan dan
patuh kepada hukum hakam syariat semata-mata, bahkan iman ini tetakluk kepada
semua manusia, pada setiap tempat dan zaman.
Ianya tidak terhad kepada umat Nabi Muhammad SAW. Bahkan meliputi seluruh umat manusia, dulu,
kini dan akan datang.
vi. Kata-kata
di dalam surah ini bertujuan untuk memberi penegasan salah satu hukum am(yakni
iman) daripada hukum-hakam insan berkenaan diri mereka sendiri. Risalah Nabi Muhammad SAW termasuk daripada
hukum am ini.
vii. Oleh itu, sesiapa
yang telah mendapat ajaran Islam, dan ia tidak mengiyakan pula apa yang di
dalamnya yang diriwayatkan secara qat’i, maka sesungguhnya dia telah rugi di
dunia dan di akhirat.
vii. Menurut Muhammad Abduh lagi, iman itu bukanlah
taqlid buta tanpa menggunakan akal dan intuisi.
Iman yang seperti ini telah merugikan umat.
viii. Yang
dimaksudkan iman itu juga ialah peniyaan dan pengiktirafan yang menjurus kepada
ketenangan[16]
jiwa, dan tunduk kepada segala kekuatan hukum hakam yang diimaninya. Firman
Allah SWT di dalam surah Al Hujurat: 5
إِنَّمَا المُؤمِنونَ الَّذينَ آمَنوا بِاللَّهِ وَرَسولِهِ ثُمَّ لَم يَرتابوا وَجاهَدوا بِأَموالِهِم وَأَنفُسِهِم في سَبيلِ اللَّهِ ۚ أُولٰئِكَ هُمُ الصّادِقونَ
Ertinya:
Sesungguhnya orang-orang yang sebenar-benarnya beriman hanyalah
orang-orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka (terus
percaya dengan) tidak ragu-ragu lagi, serta mereka berjuang dengan harta benda
dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar
(pengakuan imannya).
viii. Menurut
Muhammad Abduh, kejahilan merupakan punca kepada ketaksuban. Cara melepaskan diri darinya ialah dengan ilmu
yang benar.
5.7 Huraian mengenai وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ
..Dan beramal soleh, serta saling berpesan atas
kebenaran…
Amal soleh menurut Muhammad Abduh ialah amal perbuatan
yang sedia ada diketahui orang ramai.
Ianya tergolong daripada amal kebaikan yang bermanfaat, sama ada
manfaatnya bagi golongan tertentu atau bagi seluruh umat.
i.
Di
antara jenis-jenis amal kebajikan adalah membelanjakan harta di jalan kebaikan,
usaha untuk membantu mereka yang ditimpa kesusahan, membantu mereka yang di
dalam kesempatan, berlaku adil dalam menghukum, menyelamatkan orang yang
dizalimi dari kezaliman, dan sebagainya.
ii.
Bakat
kemahiran kejiwaan yang mulia yang menjadi sumber kepada seluruh amal-amal baik
adalah antaranya sifat Amanah, sifat menjaga kehormatan diri, adil, cinta,
Ikhlas, dan sebagainya.
iii.
Amal
soleh itu ada daripadanya dikerjakan anggota bada dan ada juga yang berkaitan
amalan batin. Amal yang berkaitan bakat
kemahiran kejiwaan pada kebiasaannya terhasil dengan melatih jiwa agar
melakukannya dan mujahadah untuk memperolehinya.
iv.
Amal
soleh di dalam Al Quran dinamakan sebagai al ma’ruf yang diketahui secara
urfnya sebagai kebaikan. Manakala
lawannya dinamakan al munkar yang dingkari secara urfnya sebagai kejahatan.
Al Tawasi (saling berpesan) membawa
makna setiap seorang dari dua orang sahabat saling berpesan kepada sahabatnya
dengan sesuatu pesanan.
Definisi al haq pula merujuk kepada
kebenaran. Kebenaran ialah apa yang
bertentangan dengan kebatilan.
i.
Setiap
orang daripada mereka menasihatkan sahabatnya untuk meneliti kebenaran akan apa
yang dipercayainya sebagai kebenaran, dengan mengingatkannya agar berusaha
keras untuk mencari dalil, memperhalusi pemikiran, agar sampai kepada
kebenaran, yang merupakan realiti yang tidak akan berubah-rubah lagi setelah
diketahui.
ii.
Apabila
dia mendapati kesesatan pada sahabatnya, dia memberi petunjuk kepadanya, dengan
menerangkan dalil kepada petunjuk kebenaran.
iii.
Sekiranya
didapati pada sahabatnya singkat akal dengan memahami makna tersurat sahaja
tanpa memahami makna tersirat, dia akan menasihatinya untuk tidak gopoh dalam
menilai.
iv.
Menurut
Muhammad Abduh lagi, saling berpesan ini diwajibkan ke atas setiap orang. Tidak kira muda dan orang tua. Menurut adab dan kebiasaan sesuatu bangsa.
v.
Saling
berpesan atas kebenaran itu tergolong daripada amal soleh dan ianya dinyatakan
secara khas dengan lafaznya untuk menekankan kemuliaannya. Keselamatan itu bergantung dengannya secara
tersendiri
vi.
Sesungguhnya
dia berfirman, `saling berpesan’ dan tidak berfirman hanya `memesankan’…untuk
menjelaskan bahawa cara keselamatan daripada kerugian, tergantung kepada
keprihatinan setiap orang dari kalangan umat ini akan kebenaran, dan kecenderungan
setiap seorang daripada mereka untuk menasihatkan kaumnya.
5.8 Huraian mengenai وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
..saling berpesan dengan kesabaran
i.
Sabar
merupakan ibu segala akhlak, bahkan tali pemegang segenap akhlak. Di dalam Al Quran disebut tidak lebih 70
kali.
ii.
Sabar
ialah sejenis bakat kemahiran kejiwaan yang dengannya segala kepayahan mudah
ditanggung. Begitu juga, keredhaan
muncul berkenaan perkara yang tidak disukai kerana bersabar, demi kebenaran.
iii.
Penyempurnaan
akhlak bergantung dengannya yakni kesabaran.
iv.
Setiap
umat yang kesabaran itu melemah di dalam jiwa setiap ahlinya, akan lemahlah
seluruh perkara lain pula padanya. Dan segala kekuatan akan lenyap daripadanya.
v.
Muhammad
Abduh memberikan suatu contoh kurangnya ilmu pengetahuan sesebuah umat seperti
umat Islam pada hari ini. Sekiranya
diteliti dengan tekut, nescaya akan diketahui bahawa puncanya ialah kurang
sabar.
vi.
Realiti
umat yang ada tidak ada kesabarannya untuk mendalami ilmu, selesa dengan
bertaqlid, dan berbangga dengan pencapaian orang-orang yang terdahulu.
vii.
Sepatutnya,
kita perlu menjadikan mereka sebagai teladan dan segenap usahanya, menuruti
jejak langkah mereka menanggung penat lelah
viii.
Muhammad
Abduh memberikan 3 situasi tidak sabar, antaranya dalam aspek pelajar yang menuntut
ilmu, si bakhil kedekut dengan hartanya, dan si boros yang membazirkan hartanya
untuk syahwat.
a. Seorang pelajar mula belajar 1-2 tahun, lalu dia
berdepan dengan kesukaran mata pelajaran, dan akhirnya dia meninggalkan
pengajian. Semua ini puncanya kurang
sabar
b. Si bakhil kedekut dengan hartanya, berusaha keras pula
mengumpul harta dan meyimpankannya. Dia
menemukan segenap cara kebaikan untuk membelanjakannya, akan tetapi dia
berpaling daripadanya.Sekiranya kira renung puncanya, kita dapati dia kurang
sabar dalam memerangi imaginasi kefakiran yang mengacau fikirannya.
c. Si boros pula membazirkan harta untuk syahwat, cabul
dan bergelumang dengan kemungkaran.
Hinggalah hartanya semua habis.
Tiadalah dia menjadi demikian, melainkan dia telah mengabaikan
kesabarannya dalam melawan hawa nafsu dan mengawal dirinya dari terjerumus ke
tempat yang tercela.
6. Kesimpulan
i.
Kebenaran ialah kehidupan bagi ilmu, tempat tinggal bagi ketenangan, tempat
ketenangan bagi akal, dan tempat rehat bagi jiwa.
ii. Kesabaran pula punca kehidupan bagi seluruh
kemuliaan, dan tempat gugur seluruh kehinaan, tali pemegang seluruh amal soleh
dan sumber kepada seluruh kebaikan.
iii.Justeru itu layaklah dua usul yang agung ini
dikhususkan dalam sebutan di dalam ayat
di antara sekalian amalan perbuatan manusia .Ditegaskan tentang
kemuliaan kedua-duanya dan menumpukan pandangan jiwa kepada kedua-duanya
khususnya, agar ia mula dijaga(dalam setiap amal perbuatan). Jika sekiranya dilaksanakan, seluruh amalnya
pula akan berubah menjadi baik dan soleh.
7. Bibliografi
Amir, Ahmad Nabil. “Pemikiran Tafsir Shaykh Muhammad Abduh.” Jurnal
Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol. 20, no. 1, 2021, p. 30, https://doi.org/10.18592/jiiu.v20i1.4126.
Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh Dan
Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora,
vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163,
https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.
Kharlie, Ahmad Tholabi. “Metode Tafsir Muhammad Abduh Dan Muhammad
Rasyid Ridha Dalam Tafsîr Al-Manâr.” TAJDID, vol. 25, no. 2, 2018, p. 119, https://doi.org/10.36667/tajdid.v25i2.323.
Tafsir pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi rumi baharu,
JAKIM, 2022, Terbitan Rimbunan Islamik Media,
ms. 1364-1365.
Imam Muhammad Abduh, Tafsir Surah Al-Asr, ABIM Press 2019.
Ahmad Mustafa Al Marhiy, Tafsir Al Maraghiy, Jilid 15, Dewan Bahasa dan Pustakn, 2001, ms.
7565.
[1] Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh Dan
Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora,
vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163,
https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.
[2] Ibid, ms. 154-155.
[3] Dudung Abdullah,
Pemikiran Sheikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, Jurnal Hukum Pidana
& Ketatanegaraan, vol 1 no.1 (2012), ms. 37
[4] Tafsir pimpinan
Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi rumi baharu, JAKIM, 2022, Terbitan
Rimbunan Islamik Media, ms. 1364-1365.
[5] Kerugian Iaitu manusia tidak terlepas
daripada kerugian kerana setiap satu detik yang berlalu daripada umurnya kalau
dipergunakan dengan melakukan maksiat maka tidak syak lagi tentang ruginya dan
kalaupun dihabiskan dengan perkara-perkara yang Harus maka itupun merugikan
juga kerana habisnya tidak meninggalkan sebarang faedah yang dapat menolongnya
ketika dia mati. Untuk mengelakkan
kerugian itu, tidak ada jalan lain melainkan dengan jalan yang diterangkan pada
ayat yang ketiga, dengan menyempurnakan segala yang tersebut sebagaimana yang
sewajibnya dan sepatutnya.
[6] Kebenaran Iaitu meliputi iktikad kepercayaan tutur kata
dan perbuatan
[7] Kesabaran Iaitu bersabar dalam
menjalankan suruhan Allah SWT dan
meninggalkan segala larangannya.
[8] Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir
Al-Manar Karya Muhammad Abbduh Dan Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi
Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163,
https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Tafsir pimpinan
Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi Rumi baharu, JAKIM, 2022, Terbitan
Rimbunan Islamik Media, ms. 1364
[14] Ahmad Mustafa Al Marhiy, Tafsir Al Maraghiy, Jilid 15, Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, m.s.
7565.
[15] Mukallaf – ciri taklif antaranya
ialah: beraqal, cukup umur dan Islam.
[16]
Ketenangan jiwa di sini
menafikan keabsahan iman seorang muqallid dalam isu akidah kerana selama ana
dia dibelenggu kejahilan, ketenangan jiwa yang dikecapinya tanpa ilmu itu
bukanlah hakiki, bahkan mudah goyah kerana ia kepercayaan yang tak
berasas. Sementara dalam Islam, iman itu
merupakan kepercayaan yang berasas dan menenangkan kerana ia merupakan
kebenaran