Sunday, August 20, 2023

TAFSIR SURAH AL-ASR HURAIAN IMAM MUHAMMAD ABDUH


HURAIAN IMAM MUHAMMAD ABDUH

Solehuddin Shuib, Muhamad Alihanafiah Norasid1

Departmen Al-Quran & Al-Hadith

Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya,

50603 Kuala Lumpur, Malaysia

1Emel: imtiaz_alhuffaz@365.um.edu.my

ABSTRAK

Tafsir surah Al Asr ini dikupas berdasarkan tafsir oleh Imam Muhammad Abduh.  Tafsir  Al-Manar  yang  juga  bernama Tafsir Al Quran Al-Hakim muncul  sebagai tafsir  bi  al-Ra’yi  pada  abad  modern. Di dalam penulisan ini dijelaskan biogarafi ringkas beliau, sekilas berkaitan tafsir Al Manar, Terjemahan ayat berdasarkan Al-Quran pimpinan Arrahman, Latar belakang surah meliputi makki/madani, keduyakan surah, sebab nuzul dan fazilat surah, dijelaskan juga gaya persembahan kitab tafsir Al Manar ini, dihidangkan pula isi-isi penting pada tafsir setiap ayat dan diberi kesimpulan bahawa iman, amal soleh, berpegang dengan kebenaran dan kesabaran ini dalam amalan perbuatan.

 

Kata kunci: Al Manar ; Muhammad Abduh; Al-Asr


 

1.    Pengenalan ringkas kitab tafsir yang dirujuk

1.1 Sekilas Biografi dan Karier Intelektual Muhammad Abduh

Nama penuhnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau  dilahirkan di perkampungan Nashr di daerah Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849M. Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di desa. Semua saudaranya membantu ayahnya mengelola  pertanian, kecuali Muhammad Abduh. Orang tuanya ditugaskannya untuk belajar, menuntut ilmu pengetahuan. Pada awalnya Muhammad Abduh dikirim ayahnya ke Masjid Al-Mahdi Thantha  untuk mempelajari Tajwid al-Qur’an. Namun setelah dua tahun ia kembali ke kampungnya, ia  bertani sebagai mana saudara-saudaranya yang lain, dan kemudian dinikahkan. Walaupun sudah berkahwin, ayahnya memaksa beliau  untuk melanjutkan  pelajaran, kemudian ia pergi ke desa Syibral Khit. Guru utama Muhammad Abduh adalah Jalaluddin al-Afghani. Ia banyak belajar kepada ulama’ ini dalam banyak sudut; dari kajian ilmu agama hinggalah ke sosial dan politik. Yang demikian inilah yang  menjadikan corak pemikirannya tidak jauh berbeza dengan Sheikh Jalaludddin al-Afghani, bahkan banyak persamaan antara keduanya dan disebut sebagai penggantinya[1]

1.2 Karya-karya Muhammad Abduh:

Muhammad Abduh merupakan seorang ulama yang cukup produktif. Ia  meninggalkan banyak karya, di antaranya adalah: [2]

1. Risalat al-Ridat

2. Hasyiah-Syarah Al-Jalal al-Dawwani Lil Aqa’id Al-Adhudhiyah

3. Tafsir Juz Amma

4. Tafsir Surah wal-‘Asr

5. Tafsir Al-Qur’an bermula dari al-Fatihah sampai dengan ayat 129 surah al-Nisa’.

1.3 Sekilas berkaitan tafsir Al-Manar

Tafsir  Al-Manar  yang  juga  bernama Tafsir Al Quran Al-Hakim muncul  sebagai tafsir  bi  al-Ra’yi  pada  abad  moden ini.  Tafsir  ini  terdiri  dari  12  jilid,  mulai  dari  surah Yusuf  ayat  ke-52. Tafsir  al-Manar  ini,  bermula  dari  pengajian  tafsir  di Masjid Al-Azhar  sejak awal  Muharram  1317H.  Meskipun  penafsirannya  ayat-ayat penafsiran tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai  hasil  karyanya,  kerana  muridnya  (Rasyid  Ridha)  yang  menulis.  Kuliah-kuliah  tafsir tersebut menunjukkan  artikel  yang  dimuatnya ini  kepada  Abduh  yang terkadang   memperbaikinya   dengan   penambahan   dan   pengurangan   satu   atau beberapa kalimat, sebelum disebar luaskan dalam majalah Al-Manar. Dari  sini  diketahui  bahwa  sebagian  besar  karya  tafsir  Muhammad Abduh, pada  mulanya  bukan  dalam  bentuk  tulisan.  Hal  ini  menurut  Muhammad Abduh, huraian yang disampaikan   secara   lisan   akan   difahami   oleh   sekitar   80%   oleh pendengarnya,  sedangkan  karya  tulis  hanya  dapat  dipahami  sekitar  20% oleh pembaca.

Kitab  Tafsir  al-Manar  ini  memperkenalkan  dirinya  sebagai kitab  tafsir  satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang sahih dan pandangan akal tegas yang   menjelaskan   hikmah   syari’ah   serta   sunnatullah   terhadap   manusia,  dan menjelaskan fungsi  Al Quran sebagai petunjuk (hidayah) untuk seluruh manusia disetiap  waktu  dan  tempat.  Tafsir  ini  juga  dengan  gaya bahasa  yang  mudah  sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknikal; sehingga dapat difahami oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan).

Tafsir  Al-Manar  pada  dasarnya  merupakan  hasil  karya  tiga  orang  tokoh Islam,  iaitu  Sayyid  Jamaluddin  Afghani,  Syeikh  Muhammad  Abduh  dan  Sayyid Muhammad  Rasyid  Ridha. Tokoh pertama menamakan  gagasan-gagasan  perbaikan masyarakat  kepada  sahabat  dan  muridnya,  Syeikh  Muhammad  Abduh.  Oleh  tokoh kedua  gagasan-gagasan  tersebut disampaikan  melalui  penafsiran  ayat-ayat Al Quran dan  diterima  oleh  antara  lain  tokoh  ketiga  yang  kemudian  menulis  semua  yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu.[3]

2.Kesemua ayat pada surah Al A’sr dan terjemahan (Pimpinan Arrahman)[4]

Tema: manusia itu berada dalam kerugian dan keuntungan

 

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Ertinya:

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih

Ayat 1:

  وَٱلۡعَصۡرِ

Ertinya:

Demi masa!

 

Ayat 2 :

 إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ

Ertinya:

Sesungguhnya  manusia itu dalam kerugian[5]

Ayat 3

:إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

Ertinya:

Kecuali orang yang beriman dan melakukan amalah soleh dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran[6] serta berpesan-pesan dengan kesabaran[7]

3. Latar belakang surah – Makki/Madani, Bil. Ayat, Kedudukan Surah, Sebab Nuzul, Fadilat Surah

3.1 Surah: Makkiyah

3.2 Ayat : 3 ayat

3.3 Kedudukan surah: 103

3.4 Sebab Nuzul:

Mereka menyebutkan bahwa 'Amr bin al-'Ash pernah diutus untuk menemui Musailamah al-Kadzdzab. Hal itu berlangsung setelah pengutusan Rasulullah dan sebelum dia (Amr bin al-'Ash) masuk Islam. Musailamah al-Kadzdzab bertanya kepada 'Amr bin al-'Ash, "Apa yang telah diturunkan kepada Sahabatmu ini (Rasulullah) selama ini?" Dia menjawab, "Telah diturunkan kepadanya satu surat ringkas namun sangat padat." Dia bertanya, "Surat apa itu?" Dia (Amr) menjawab:

وَالْعَصْرِ، إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي حُسْرِ. إلا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ )

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran."

Kemudian Musailamah berfikir sejenak, setelah itu dia berkata, “Dan telah diturunkan pula hal serupa kepadaku." Kemudian 'Amr bertanya kepadanya, "Apa itu?" Musailamah menjawab, "

(Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu memiliki dua telinga dan satu dada. Dan semua jenismu suka membuat galian dan lubang)." Kemudian dia bertanya, "Bagaimana menurut pendapatmu, hai 'Amr." Maka 'Amr berkata kepadanya, "Demi Allah, sesungguhnya aku tahu bahwa engkau telah berdusta."

Wabr adalah binatang sejenis kucing, yang anggota badannya yang paling besar adalah kedua telinga dan dadanya, sedangkan anggota tubuh lainnya kurang bagus. Dengan halusinasi itu, Musailamah al-Kadzdzab bermaksud menyusun kalimat yang bertentangan dengan apa yang disampaikan al-Qur-an. Namun demikian, hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh seorang penyembah berhala pada saat itu.

3.5 Fazilat surah:

3.5.1 Benarlah (riwayat) bahawa para sahabat radiy Allahu 'anhum,

“ apabila saja dua daripada mereka berkumpul, mereka tidak akan berpisah melainkan setelah mereka saling membacakan surah ini antara satu sama lain, hinggalah ke penghujungnya. Setelah itu, barulah mereka saling bersalaman.'

3.5.2 Imam asy-Syafi'i mengatakan,

 "Seandainya manusia mencermati surat ini secara saksama, nescaya surat ini akan mencukupi mereka."

4.       Gaya persembahan (teknikal) kitab tafsir Al Manar [8]

4.1 Manhaj sumber penafsiran

Dilihat dari sumber penafsiran, karya tafsir tidak akan lepas dari tiga klasifikasi, yaitu bi al-ma’tsur, bi al-ra’y dan gabungan dari keduanya atau iqtirani. Tafsir bil al-Ma’tsur merupakan metode/manhaj penafsiran yang sumbernya langsung dari al-Qur’an dan hadits.. Tafsir al-Manar menunjukkan, bahwa Tafsir al-Manar pada dasarnya lebih merupakan wujud dari bentuk yang ketiga, yaitu iqtirani. Hal ini jelas dilihat pada penggunaan ayat dan riwayat untuk menjelaskan satu ayat serta memasukkan beberapa analisa pemikiran sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat.

4.2 Manhaj cara penjelasan[9]

Penjelasan dalam karya tafsir dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk bayani dan muqarin. Penjelasan model bayani adalah penjelasan secara global  padanya tanpa berusaha membandingkan beberapa pendapat yang ada. Sedangkan penjelasan muqarin adalah penjelasan yang berusaha membandingkan beberapa pendapat yang ada, baik dengan memilih salah satu pendapat ataupun tidak. Sedangkan Tafsir al-Manar ini menurut penulis termasuk dalam kategori yang kedua, yaitu muqarin atau perbandingan.

4.3 Manhaj dari segi keluasan penjelasan[10]

Dilihat dari aspek luas tidaknya penjelasan terhadap ayat-ayat yang ditafsirkan, karya tafsir dapat diklasifikasikan ke dalam dua model, yaitu ijmali dan tafsili. Ijmali merupakan bentuk penjelasan ringkas atau global tanpa banyak memberikan perbahasan yang memadai. Adapun Tafsir al-Manar dapat dikategorikan dalam kelompok tafsir yang memiliki perbahasan yang luas

4.4 Manhaj dari segi tertib ayat[11]

Setiap karya tafsir jika dilihat dari segi tertib ayat maka terdapat tiga model, iaitu pertama tahili, yaitu suatu metod tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, di mana penafsir mengikuti urutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf.” Nuzuli, yaitu penulisan tafsir yang mengikuti kronologi urutan turunnya al-Qur’an dari awal (surah al-‘Alaq) hingga surah yang turun terakhir. Yang ketiga tidak mengikuti  keduanya tetapi berdasarkan keperluan yang disesuaikan dengan pembahasan, misalnya mengikuti topik-topik tertentu atau maudu’i. Kerana mengikuti urutan ayat al-Qur’an yang ada dalam mushaf Utsmani,

Dari segi tertibnya, Tafsir al-Manar dapat digolongkan sebagai tafsir yang  mengikuti metod tahlili, bukan nuzuli atau maudu’i. Hanya saja tafsir ini tidak selesai sampai surah terakhir dalam mushaf (surah al-Nas), namun hanya sampai pada juz 12 tepatnya surah Yusuf.

4.5 Naz’ah[12]

Dilihat dari segi naz’ah atau coraknya, karya tafsir dapat bercorak ilmi atau falsafi, hukmi atau fiqhi, adabi-ijtima’i, dan lain-lain. Setelah melakukan kajian atas beberapa penafsiran penulisnya secara random dalam beberapa jilid  Tafsir al-Manar dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bercorak adabi- ijtimai atau sosial-kemasyarakatan. Yang demikian ini berkesesuaian dengan apa yang disampaikan penulis Tafsir al-Manar dalam muqaddimahnya.

 

5.       Isi-isi penting yang terkandung pada kitab tafsir Al Manar yang dirujuk mengikut susunan ayat pada surah

5.1 Muqaddimah surah[13]

Hubungan surah ini dengan surah al Takathur

Dalam Surah al-Takathur disebutkan bahawa mereka suka berbangga-bangga dengan jumlah yang banyak dan dengan apa saja yang dapat melalaikan mereka daripada mentaati Allah SWT. Dalam surah ini pula disebutkan tabiat manusia yang mendorongnya kepada kebinasaan dan menjerumuskannya ke lembah kehancuran, kecuali orang yang dilindungi oleh Allah SWT. dan dihindarkan daripada kejahatan hawa nafsunya. Jadi, seolah-olah keterangan ini menjadi sebab turunnya Surah al-Takathur, di samping itu disebutkan juga orang yang mengikut hawa nafsunya dan telunjuk syaitan sehingga terjerumus ke lembah kebinasaan.

Dalam surah ini juga di sebutkan orang yang menghiasi diri mereka dengan tabiat yang baik, beriman kepada Allah SWT. dan beramal salih serta saling menasihati antara saudara-saudaranya agar berpegang teguh dengan tali kebenaran dan sabar menghadapi perkara-perkara yang tidak diinginkan.[14]

Surah ini diturunkan di Mekah ini mengandungi tiga ayat.  Surah ini dinamakan surah al-Asr (Masa) kerana pada awal surah ini Allah SWT bersumpah dengan masa masa bahawa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang yang beriman dan beramal soleh.

Antara intisari kandungan surah ini, menerangkan bahawa manusia umumnya berada dalam kerugian kecuali orang yang beriman dan beramal soleh dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran meliputi iktikad kepercayaan, tutur kata dan amalan serta berpesan-pesan dengan sabar, iaitu bersabar dalam menjalankan suruhan Allah SWT dan meninggalkan larangan-Nya.

Apakah kerugian yang dimaksudkan itu?

Kerugian bermakna hilang modal dan modal seseorang itu ialah umurnya. Dengan ini jelaslah bahawa manusia tidak terlepas daripada kerugian.  Hal ini kerana setiap satu detik yang berlalu daripada umurnya , jika digunakan pada maksiat maka tidak syak lagi tentang ruginya.  Jika dihabiskan dengan perkara-perkara yang harus, maka itu pun merugikan juga kerana habisnya tidak meninggalkan sebarang faedah yang dapat menolongnya apabila dia mati.

Bagi mengelakkan kerugian itu, tidak ada jalan lain melainkan dengan cara yang diterangkan pada ayat yang ketiga, iaitu dengan cara beriman, beramal soleh, berpesan-pesan dengan kebenaran dan berpesan-pesan dengan kesabaran.

5.2 Sunnatullah pada al Qasam(sumpah)

Menurut Muhammad Abduh, sunnatullah terlaksana di dalam kitab-Nya(Al Quran) bahawa Dia bersumpah, kadang kala dengan salah satu ciptaan-Nya, ataupun dengan salah satu daripada perihal urusan-Nya.  Demikian itu untuk mengingatkan manusia kepada kebijaksanaan yang telah dititipkan-Nya padanya makhluk atau urusan Allah bersumpah dengannya itu.

Menurut Muhammad Abduh lagi, manusia suka menyandarkan urusan keburukan kepadanya(makhluk atau urusan yang Allah bersumpah dengannya).  Manusia demikian silap.  Sesungguhnya keburukan dan kejahatan itu bukanlah pada perkara-perkara yang Allah SWT. bersumpah dengannya, akan tetapi kejahatan itu berada dalam jiwa manusia tersebut.

Pada sisi yang lain pula, manusia bersangka bahawa alam dunia yang fana’ ini merupakan alam yang jahat dan binasa.  Maka mereka beranggapan pencari kebahagiaan mesti merendah-rendahkan dunia dan menjauhi dunia. Pada pandangan mereka, mereka mestilah mengabdikan diri kepada alam lain yakni akhirat.  Justeru itu, al Quran telah datang membetulkan akan rosaknya kefahaman mereka tentang Allah SWT. yang menciptakan alam ini buat manusia.

Menurut Muhammad Abduh lagi, inilah antara caranya Allah SWT mengingatkan kesalahan mereka itu dengan laras bahasa yang dibawa bersama sumpah yang ada di dalam Al Quran.  Dia menjelaskan kepada mereka bahawa perkara ini yang Allah SWT. bersumpah dengannya mengandungi kebijaksanaan Allah SWT. yang tinggi, ke tahap Allah SWT bersumpah dengannya.

5.3  Huraian berkaitan Al-‘Asr          ٱلۡعَصۡرِ

Al-‘Asr merujuk kepada dua perkara berikut:

i.)             Merujuk kepada tempoh (zaman) yang tertentu dari masa.  Sama ada dihadkan bilangan tahun tertentu, ataupun tidak.

ii.)            Ataupun merujuk kepada waktu di antara Zuhur dan Maghrib.

Manusia terbiasa mencela yang pertama (Al A’sr sebagai zaman).  Mereka menyandarkan seluruh kebaikan tentang apa yang mereka harapkan, kepada zaman sebelum mereka.  Atas sebab itu, Allah SWT menjentik jiwa manusia daripada kepercayaan yang sebegini dengan cara Allah SWT. bersumpah dengannya. 

Al-‘Asr dengan maksud yang kedua (waktu Asar) merupakan waktu orang-orang Arab Quraisy pada masa itu berkumpul di kawasan al haram atau di lokasi lainnya.  Mereka sibuk dengan perkara yang tidak membawa kebaikan sepeti mengumpat, menghina, atau berhibur. Atas sebab itu, telah sabit dalam jiwa mereka bahawa waktu Asar itu sinonim dengan keburukan dan menghimpun kejahatan.

Lalu Allah SWT menolak tuduhan demikian dan mengembalikan keburukan itu kepada mereka.   Allah SWT mengajarkan bahawa waktu itu sendiri merupakan makhluk Allah yang mulia, yang pencipta langit dan bumi boleh bersumpah dengannya. Justeru, mereka hendaklah memperlakukan apa yang patut dengan darjat mulia waktu Asar ini dengan mengisinya dengan amalan kebaikan.  Demikian pula mereka akan menjauhi diri dari kerugian yang besar yang tidak akan menimpa mereka melaikan kerana perbuatan jahat mereka sendiri.

5.4 Huraian mengenai Al- Insan  ٱلۡإِنسَٰنَ 

Muhammad Abduh menghuraikan dari segi Bahasa Arab pula imbuhan (AL-Alif lam) di dalam perkataan Insan.  Membawa maksud Istighraq.  Yang membawa maksud rangkuman seluruh, yakni al insan merujuk kepada seluruh insan.  Rangkuman seluruh dengan AL di dalam Bahasa Arab bukanlah seperti rangkuman seluruh dengan perkataan kullu, yang digunakan oleh ahli mantiq, dan juga AL tidaklah sama hukumnya seperti perkataan kullu yang disandarkan kepada satu perkataan nakirah.

Sesungguhnya imbuhan AL dalam ayat Al- Insan ini membawa maksud rangkuman seluruh perkara yang ma’hud(telah diketahui) oleh mukhatab(orang kedua dalam perbualan)

Oleh kerana itu, rangkuman seluruh yang ada dalam ayat al- insan menurut makna hakikinya , menggenapi semua manusia yang mukallaf[15], sama ada mereka telah mendengar risalah para Nabi atau belum.

5.5 Huraian mengenai Al Khusr خُسۡرٍ

Al Khusr (kerugian) dari segi bahasanya merujuk kepada kesesatan, kehancuran, dan kekurangan.

Menurut Muhammad Abduh, segala kejahatan yang kita lakukan itu merupakan kerugian buat diri kita.  Ini kerana, kita sebenarnya menagih faedah dan imbuhan baik dari segenap amalan perbuatan kita. 

Kerugian dalam ini merujuk kepada kerugian yang mutlak, tidak terikat dengan sifat kerugian di dunia ataupun akhirat.  Setiap mukallaf yang tidak bersifat dengan sifat-sifat yang berikutnya di dalam surah, akan mendapat kerugian di dalam kehidupan ini, ataupun dalam kehidupan sesuadahnya yakni akhirat.

5.6 Huraian mengenai: إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ 

..Melainkan orang yang beriman

i.Iman di dalam ayat ini bersifat mutlak. dan tidak diikat dengan sebarang apapun (penyifatan), seperti yang kita sendiri saksikan.  Menurut Muhammad Abduh, perkara utama keumuman firman ini ialah:  Kepatuhan jiwa kepada perkara yang memberi keyakinan bahawa wujudnya perbezaan antara baik dan jahat, kemuliaan dan kehinaan.

ii.Serta kita hendaklah beriman akan adanya Yang Maha Berkuasa atas segala kewujudan ini.  Yang redha akan kebaikan dan tidak redha akan kejahatan, yang mencitai kemuliaan dan membenci kehinaan.

iii.Begitu juga mempercayai yang Dia memerintahkan pula kepada mereka untuk menerangkan kekeliruan yang berlaku pada amal perbuatan manusia, dan mengenalkan kepada mereka akan segala runtunan hawa nafsu ke hati mereka yang boleh membinasakan, dan jalan-jalan pembuktian yang benar menurut akal mereka.

iv.Maka dengan demikian, mereka pun tertarik kepada kebenaran itu, menerima apa, yang menjadi natijah daripadanya(pembuktian akal yang sahih), menghalang diri mereka daripadanya (hawa nafsu yang membinasakan) dan akhirnya manusia akan berazam pula untuk menjaga pintu-pintu hawa nafsu dalam diri mereka, dan menghalang seluruh perlara yang boleh menjerumuskan mereka ke Lembah kesesatan.  Inilah iman yang dimaksudkan oleh firman Allah dalam surah al Lail : 1 dan Al Lail: 6.

v. Bukanlah iman itu merujuk kepada mengiyakan dan patuh kepada hukum hakam syariat semata-mata, bahkan iman ini tetakluk kepada semua manusia, pada setiap tempat dan zaman.  Ianya tidak terhad kepada umat Nabi Muhammad SAW.  Bahkan meliputi seluruh umat manusia, dulu, kini dan akan datang.

vi.  Kata-kata di dalam surah ini bertujuan untuk memberi penegasan salah satu hukum am(yakni iman) daripada hukum-hakam insan berkenaan diri mereka sendiri.  Risalah Nabi Muhammad SAW termasuk daripada hukum am ini.

vii.  Oleh itu, sesiapa yang telah mendapat ajaran Islam, dan ia tidak mengiyakan pula apa yang di dalamnya yang diriwayatkan secara qat’i, maka sesungguhnya dia telah rugi di dunia dan di akhirat.

vii. Menurut Muhammad Abduh lagi, iman itu bukanlah taqlid buta tanpa menggunakan akal dan intuisi.  Iman yang seperti ini telah merugikan umat.

viii.  Yang dimaksudkan iman itu juga ialah peniyaan dan pengiktirafan yang menjurus kepada ketenangan[16] jiwa, dan tunduk kepada segala kekuatan hukum hakam yang diimaninya.  Firman  Allah SWT di dalam surah Al Hujurat: 5

إِنَّمَا المُؤمِنونَ الَّذينَ آمَنوا بِاللَّهِ وَرَسولِهِ ثُمَّ لَم يَرتابوا وَجاهَدوا بِأَموالِهِم وَأَنفُسِهِم في سَبيلِ اللَّهِ ۚ أُولٰئِكَ هُمُ الصّادِقونَ

Ertinya:

Sesungguhnya orang-orang yang sebenar-benarnya beriman hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka (terus percaya dengan) tidak ragu-ragu lagi, serta mereka berjuang dengan harta benda dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar (pengakuan imannya).

viii.  Menurut Muhammad Abduh, kejahilan merupakan punca kepada ketaksuban.  Cara melepaskan diri darinya ialah dengan ilmu yang benar.

5.7 Huraian mengenai وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ

..Dan beramal soleh, serta saling berpesan atas kebenaran…

Amal soleh menurut Muhammad Abduh ialah amal perbuatan yang sedia ada diketahui orang ramai.  Ianya tergolong daripada amal kebaikan yang bermanfaat, sama ada manfaatnya bagi golongan tertentu atau bagi seluruh umat.

i.               Di antara jenis-jenis amal kebajikan adalah membelanjakan harta di jalan kebaikan, usaha untuk membantu mereka yang ditimpa kesusahan, membantu mereka yang di dalam kesempatan, berlaku adil dalam menghukum, menyelamatkan orang yang dizalimi dari kezaliman, dan sebagainya.

ii.              Bakat kemahiran kejiwaan yang mulia yang menjadi sumber kepada seluruh amal-amal baik adalah antaranya sifat Amanah, sifat menjaga kehormatan diri, adil, cinta, Ikhlas, dan sebagainya.

iii.             Amal soleh itu ada daripadanya dikerjakan anggota bada dan ada juga yang berkaitan amalan batin.  Amal yang berkaitan bakat kemahiran kejiwaan pada kebiasaannya terhasil dengan melatih jiwa agar melakukannya dan mujahadah untuk memperolehinya.

iv.            Amal soleh di dalam Al Quran dinamakan sebagai al ma’ruf yang diketahui secara urfnya sebagai kebaikan.  Manakala lawannya dinamakan al munkar yang dingkari secara urfnya sebagai kejahatan.

Al Tawasi (saling berpesan) membawa makna setiap seorang dari dua orang sahabat saling berpesan kepada sahabatnya dengan sesuatu pesanan.

Definisi al haq pula merujuk kepada kebenaran.  Kebenaran ialah apa yang bertentangan dengan kebatilan.

i.               Setiap orang daripada mereka menasihatkan sahabatnya untuk meneliti kebenaran akan apa yang dipercayainya sebagai kebenaran, dengan mengingatkannya agar berusaha keras untuk mencari dalil, memperhalusi pemikiran, agar sampai kepada kebenaran, yang merupakan realiti yang tidak akan berubah-rubah lagi setelah diketahui.

ii.              Apabila dia mendapati kesesatan pada sahabatnya, dia memberi petunjuk kepadanya, dengan menerangkan dalil kepada petunjuk kebenaran.

iii.             Sekiranya didapati pada sahabatnya singkat akal dengan memahami makna tersurat sahaja tanpa memahami makna tersirat, dia akan menasihatinya untuk tidak gopoh dalam menilai.

iv.            Menurut Muhammad Abduh lagi, saling berpesan ini diwajibkan ke atas setiap orang.  Tidak kira muda dan orang tua.  Menurut adab dan kebiasaan sesuatu bangsa.

v.              Saling berpesan atas kebenaran itu tergolong daripada amal soleh dan ianya dinyatakan secara khas dengan lafaznya untuk menekankan kemuliaannya.  Keselamatan itu bergantung dengannya secara tersendiri

vi.            Sesungguhnya dia berfirman, `saling berpesan’ dan tidak berfirman hanya `memesankan’…untuk menjelaskan bahawa cara keselamatan daripada kerugian, tergantung kepada keprihatinan setiap orang dari kalangan umat ini akan kebenaran, dan kecenderungan setiap seorang daripada mereka untuk menasihatkan kaumnya.

5.8 Huraian mengenai وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ

..saling berpesan dengan kesabaran

i.               Sabar merupakan ibu segala akhlak, bahkan tali pemegang segenap akhlak.  Di dalam Al Quran disebut tidak lebih 70 kali.

ii.              Sabar ialah sejenis bakat kemahiran kejiwaan yang dengannya segala kepayahan mudah ditanggung.  Begitu juga, keredhaan muncul berkenaan perkara yang tidak disukai kerana bersabar, demi kebenaran.

iii.             Penyempurnaan akhlak bergantung dengannya yakni kesabaran.

iv.            Setiap umat yang kesabaran itu melemah di dalam jiwa setiap ahlinya, akan lemahlah seluruh perkara lain pula padanya. Dan segala kekuatan akan lenyap daripadanya.

v.              Muhammad Abduh memberikan suatu contoh kurangnya ilmu pengetahuan sesebuah umat seperti umat Islam pada hari ini.  Sekiranya diteliti dengan tekut, nescaya akan diketahui bahawa puncanya ialah kurang sabar.

vi.            Realiti umat yang ada tidak ada kesabarannya untuk mendalami ilmu, selesa dengan bertaqlid, dan berbangga dengan pencapaian orang-orang yang terdahulu.

vii.           Sepatutnya, kita perlu menjadikan mereka sebagai teladan dan segenap usahanya, menuruti jejak langkah mereka menanggung penat lelah

viii.          Muhammad Abduh memberikan 3 situasi tidak sabar, antaranya dalam aspek pelajar yang menuntut ilmu, si bakhil kedekut dengan hartanya, dan si boros yang membazirkan hartanya untuk syahwat.

a.    Seorang pelajar mula belajar 1-2 tahun, lalu dia berdepan dengan kesukaran mata pelajaran, dan akhirnya dia meninggalkan pengajian.  Semua ini puncanya kurang sabar

b.    Si bakhil kedekut dengan hartanya, berusaha keras pula mengumpul harta dan meyimpankannya.  Dia menemukan segenap cara kebaikan untuk membelanjakannya, akan tetapi dia berpaling daripadanya.Sekiranya kira renung puncanya, kita dapati dia kurang sabar dalam memerangi imaginasi kefakiran yang mengacau fikirannya.

c.     Si boros pula membazirkan harta untuk syahwat, cabul dan bergelumang dengan kemungkaran.  Hinggalah hartanya semua habis.  Tiadalah dia menjadi demikian, melainkan dia telah mengabaikan kesabarannya dalam melawan hawa nafsu dan mengawal dirinya dari terjerumus ke tempat yang tercela.

6.       Kesimpulan

i. Kebenaran ialah kehidupan bagi ilmu, tempat tinggal bagi ketenangan, tempat ketenangan bagi akal, dan tempat rehat bagi jiwa.

ii. Kesabaran pula punca kehidupan bagi seluruh kemuliaan, dan tempat gugur seluruh kehinaan, tali pemegang seluruh amal soleh dan sumber kepada seluruh kebaikan.

iii.Justeru itu layaklah dua usul yang agung ini dikhususkan dalam sebutan di dalam ayat  di antara sekalian amalan perbuatan manusia .Ditegaskan tentang kemuliaan kedua-duanya dan menumpukan pandangan jiwa kepada kedua-duanya khususnya, agar ia mula dijaga(dalam setiap amal perbuatan).  Jika sekiranya dilaksanakan, seluruh amalnya pula akan berubah menjadi baik dan soleh.

 

7.       Bibliografi

Amir, Ahmad Nabil. “Pemikiran Tafsir Shaykh Muhammad Abduh.” Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, vol. 20, no. 1, 2021, p. 30, https://doi.org/10.18592/jiiu.v20i1.4126.

Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh Dan Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163, https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.

Kharlie, Ahmad Tholabi. “Metode Tafsir Muhammad Abduh Dan Muhammad Rasyid Ridha Dalam Tafsîr Al-Manâr.” TAJDID, vol. 25, no. 2, 2018, p. 119, https://doi.org/10.36667/tajdid.v25i2.323.

Tafsir pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi rumi baharu, JAKIM, 2022, Terbitan Rimbunan Islamik Media,  ms. 1364-1365.

Imam Muhammad Abduh, Tafsir Surah Al-Asr, ABIM Press 2019.

Ahmad Mustafa Al Marhiy, Tafsir Al Maraghiy,  Jilid 15, Dewan Bahasa dan Pustakn, 2001, ms. 7565.



[1] Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh Dan Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163, https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.

 

[2] Ibid, ms. 154-155.

[3] Dudung Abdullah, Pemikiran Sheikh Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, Jurnal Hukum Pidana & Ketatanegaraan, vol 1 no.1 (2012), ms. 37

[4] Tafsir pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi rumi baharu, JAKIM, 2022, Terbitan Rimbunan Islamik Media,  ms. 1364-1365.

[5] Kerugian Iaitu manusia tidak terlepas daripada kerugian kerana setiap satu detik yang berlalu daripada umurnya kalau dipergunakan dengan melakukan maksiat maka tidak syak lagi tentang ruginya dan kalaupun dihabiskan dengan perkara-perkara yang Harus maka itupun merugikan juga kerana habisnya tidak meninggalkan sebarang faedah yang dapat menolongnya ketika dia mati.  Untuk mengelakkan kerugian itu, tidak ada jalan lain melainkan dengan jalan yang diterangkan pada ayat yang ketiga, dengan menyempurnakan segala yang tersebut sebagaimana yang sewajibnya dan sepatutnya.

[6] Kebenaran  Iaitu meliputi iktikad kepercayaan tutur kata dan perbuatan

[7] Kesabaran Iaitu bersabar dalam menjalankan  suruhan Allah SWT dan meninggalkan segala larangannya.

[8] Junaidi, Mahbub. “Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abbduh Dan Rasyid Ridla.” Dar El-Ilmi : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, vol. 8, no. 1, 22 Apr. 2021, pp. 152–163, https://doi.org/10.52166/darelilmi.v8i1.2506. Accessed 22 Dec. 2022.

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Tafsir pimpinan Ar-Rahman kepada pengertian Al Quran edisi Rumi baharu, JAKIM, 2022, Terbitan Rimbunan Islamik Media,  ms. 1364

[14]  Ahmad Mustafa Al Marhiy, Tafsir Al Maraghiy,  Jilid 15, Dewan Bahasa dan Pustaka, 2001, m.s. 7565.

[15] Mukallaf – ciri taklif antaranya ialah: beraqal, cukup umur dan Islam.

[16] Ketenangan jiwa di sini menafikan keabsahan iman seorang muqallid dalam isu akidah kerana selama ana dia dibelenggu kejahilan, ketenangan jiwa yang dikecapinya tanpa ilmu itu bukanlah hakiki, bahkan mudah goyah kerana ia kepercayaan yang tak berasas.  Sementara dalam Islam, iman itu merupakan kepercayaan yang berasas dan menenangkan kerana ia merupakan kebenaran

DAKWAH MELALUI TIKTOK DAN KESANNYA KEPADA REMAJA MUSLIM DI MALAYSIA

  DAKWAH MELALUI TIKTOK DAN KESANNYA KEPADA REMAJA MUSLIM DI MALAYSIA   Mohd Amirul Hafiz Ahmad, Solehuddin Shuib, Khairulazhar Samsudin...